Rekomendasi Chanel Youtube dengan Konten Horor
Di desaku ada satu jalan setapak kecil yang membelah sawah menuju sungai, dan semua orang sepakat untuk tidak melewatinya saat magrib tiba. Jalan itu dikenal dengan nama Jalan Kuburan Air, bukan karena ada makam di sana, melainkan karena dulu pernah ada seorang perempuan yang hilang dan ditemukan meninggal di dekat aliran sungai setelah terseret banjir. Sejak itu, orang-orang percaya bahwa setiap senja ada sosok yang berjalan pelan menyusuri pematang, membawa selendang basah dan rambut panjang menutupi sebagian wajahnya.
Ketika aku menoleh, kulihat bayangan seorang perempuan berjalan beberapa meter di belakangku. Pakaiannya putih kusam, dan kakinya tampak tidak sepenuhnya menginjak tanah, seakan melayang di atas lumpur. Aku mempercepat langkah, namun suara langkah itu tetap terdengar, selaras dengan detak jantungku yang mulai tak karuan.
Tiba-tiba terdengar suara lirih memanggil namaku, sangat pelan, tapi jelas, membuat tengkukku terasa dingin. Aku berhenti dan memberanikan diri menoleh lagi. Kini sosok itu sudah jauh lebih dekat, dan dari balik rambutnya yang basah aku melihat wajah pucat dengan mata kosong seperti menatap sesuatu yang sudah lama hilang.
“Jalan ini bukan untuk orang malam,” bisiknya lemah, tapi dinginnya menembus sampai ke tulang.
Aku ingin berlari, tapi kakiku terasa berat, seolah lumpur sawah ikut mencengkeram. Perempuan itu mengangkat tangannya yang basah, memperlihatkan selendang lusuh berlumur tanah. Aroma anyir bercampur lumpur semakin menyengat.
Entah dari mana, terdengar suara adzan menggema dari masjid desa. Seketika udara terasa berubah, dan sosok itu perlahan memudar seperti kabut tersapu angin. Aku tersungkur di pematang, tubuh gemetar, napas tak beraturan.
Sesampainya di rumah, nenek hanya menatapku lama seolah sudah tahu apa yang kualami. Dengan suara pelan ia berkata bahwa aku beruntung masih bisa pulang, karena tidak semua orang yang berjalan di Jalan Kuburan Air saat senja bisa kembali dengan selamat. Katanya, sosok itu hanya muncul untuk mengingatkan bahwa ada jalan yang seharusnya tidak dilalui ketika dunia mulai berganti.
Sejak hari itu, aku tidak pernah lagi melewati pematang saat matahari mulai turun. Namun tiap senja, ketika langit mulai memerah dan angin berhembus dari arah sawah, aroma lumpur itu selalu kembali tercium… seolah seseorang masih berjalan pelan di sana, menunggu orang berikutnya yang mengabaikan larangan desa.
Comments
Post a Comment
Yuk, kasih komentar terbaik kamu.
INGAT!!
Berkomentarlah dengan bijak dan baik.